Definisi
Kondisi kesehatan yang beragam umumnya dicirikan oleh peradangan saluran nafas yang bersifat kronis dan seringkali disertai riwayat gejala pernapasan seperti mengi, kesulitan bernafas, dan batuk dikenal sebagai sebutan asma.1.
Epidemiologi
Penyakit asma menjadi isu global yang serius dan memengaruhi seluruh kelompok usia mulai dari anak-anak hingga dewasa dengan dampak negatif yang signifikan pada pasien, keluarga, dan masyarakat. Pada tahun 2017 angka kejadian asma di berbagai negara sekitar 1-18% dan diperkirakan sebanyak 300 juta penduduk di dunia menderita asma menurut Global Initiatif for Astma (GINA). Prevalensi asma tertinggi di Indonesia adalah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebesar 4,5%, sementara provinsi Nusa Tenggara Barat berada di posisi ketujuh secara nasional dengan prevalensi 2,5%.2.
Patofisiologi
Tahap awal serangan asma dimulai dari paparan terhadap pemicu (alergen atau polutan) yang memicu pelepasan antibodi IgE oleh sel plasma. IgE kemudian menempel pada sel mast dan basofil, yang selanjutnya melepaskan zat kimia seperti histamin, leukotrien, dan prostaglandin. Pelepasan zat kimia ini menyebabkan penyempitan saluran napas (bronkokonstriksi) akibat kontraksi otot polos di saluran udara. Selain itu, limfosit Th2 turut berperan dengan memproduksi interleukin (IL) yang memicu peradangan. Dalam tahap selanjutnya (beberapa jam kemudian), berbagai sel darah putih seperti eosinofil, basofil, neutrofil, limfosit T helper dan memori, berkumpul di paru-paru dan turut menyebabkan penyempitan dan peradangan saluran napas.3.
Hiperresponsivitas saluran napas merupakan ciri khas asma, dimana saluran napas menjadi lebih sensitif terhadap berbagai rangsangan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti peningkatan histamin dari sel mast, peningkatan massa otot polos saluran napas, dan peningkatan aktivitas saraf vagus. Akibat dari peradangan dan penyempitan saluran napas, penderita asma mengalami gangguan aliran udara yang bersifat intermiten (datang dan pergi) sehingga membuat pernapasan menjadi lebih sulit.3.
Pada penderita asma, bisa terjadi perombakan saluran napas (remodeling). Proses ini ditandai dengan perubahan sel epitel menjadi sel mesenkim dan peningkatan jumlah otot polos di saluran napas. Perombakan saluran napas ini dapat menyebabkan penebalan dinding saluran napas dan penyempitan permanen, sehingga aliran udara menjadi terhambat.3.
Faktor Risiko
Kejadian asma dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya usia, jenis kelamin, perokok aktif maupun pasif, genetik, Indeks massa tubuh (IMT), dan lingkungan. Penurunan faal paru dapat diakibatkan IMT berlebih dan IMT kurang sehingga meningkatkan terjadinya asma.2.Dari faktor risiko tersebut, genetik memegang peranan penting dalam perkembangan asma. Penelitian menunjukkan faktor keturunan mempengaruhi risiko asma hingga 35-95%.4.
1. Paparan asap rokok: Paparan asap rokok saat dalam kandungan, masa kanak-kanak, dan sebagai perokok aktif dapat meningkatkan risiko asma dan memperburuk gejalanya.
2. Polusi udara: Polusi udara dari kendaraan dan pembangkit listrik dapat menyebabkan kerusakan oksidatif, peradangan, dan meningkatkan sensitivitas alergen. Paparan polusi udara saat dalam kandungan dan masa kanak-kanak bisa berpengaruh terhadap fungsi paru-paru dan memicu gejala asma.
3. Mikrobioma usus dan pernapasan: Kurangnya paparan mikroorganisme yang beragam, terutama pada masa awal kehidupan, dapat meningkatkan risiko asma. Antibiotik dapat mengganggu keseimbangan mikroba usus dan dikaitkan dengan peningkatan risiko asma dan alergi.
4. Kekurangan vitamin D: Studi menunjukkan kekurangan vitamin D mungkin berperan dalam keparahan asma. Vitamin D diduga dapat meredakan efek respon imun dan berperan dalam regenerasi sel saluran napas.
5. Stres prenatal dan dini: Stres prenatal dan pada masa awal kehidupan ibu, seperti kecemasan atau depresi, dapat meningkatkan risiko gangguan pernapasan pada anak termasuk asma. Stres dapat mengganggu sistem imun, hormonal, dan saraf otonom yang mempengaruhi perkembangan paru-paru.
6. Faktor genetik: Beberapa penelitian telah mengidentifikasi gen-gen yang terkait dengan asma. Salah satu yang paling banyak diteliti adalah lokus 17q21 yang berhubungan dengan asma onset dini dan mungkin mempengaruhi risiko infeksi saluran pernapasan.4.
Manifestasi Klinis
Kondisi pernapasan ini ditandai dengan peradangan pada saluran napas, yang menyebabkan obstruksi aliran udara intermiten dan hiperresponsivitas bronkial. Gejala khas asma meliputi batuk, mengi, dan sesak napas, yang sering kali dapat diperburuk oleh pemicu mulai dari alergen hingga infeksi virus.5.
Diagnosis Banding
Pemeriksaan riwayat kesehatan dan fisik pasien dapat membantu membedakan kemungkinan diagnosis. Berikut beberapa penyakit yang perlu dipertimbangkan:
1. Infeksi saluran pernapasan: Bronkiolitis, laringotrakeobronkitis, dan trakeitis biasanya disertai demam atau gejala infeksi lain. Gejala mengi biasanya membaik sendiri, namun pada beberapa kasus infeksi bisa menjadi kronis.
2. Benda asing di saluran napas: Gejala mengi dan batuk yang tiba-tiba, terutama jika hanya dirasakan di satu sisi paru, perlu dicurigai sebagai benda asing.
3. Kelainan struktur saluran napas: Trakeobronkomalasia, cincin vaskular, stenosis trakea, dan fistula trakeaoesofagus biasanya muncul pada bayi, disertai stridor (bunyi napas bernada tinggi), dan gejalanya bisa berubah tergantung posisi tubuh.
4. Tumor atau kista: Gejalanya berupa mengi kronis dan biasanya tidak membaik dengan obat pelega bronkus.
5. Bronkopulμονary Dysplasia (BPD): Terjadi pada bayi prematur atau bayi dengan riwayat gangguan pernapasan saat lahir.
6. Fibrosis kistik dan diskinesia silia primer: Biasanya disertai batuk berdahak, infeksi berulang, sinusitis, dan otitis media. Pasien mungkin mengalami gagal tumbuh, diare kronis, suara napas berderak, dan jari tangan atau kaki berbentuk gada.
7. Gangguan imunitas: Gejala mirip asma bisa terjadi akibat infeksi paru berulang.
8. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD): Merupakan penyebab umum batuk kronis. Gejala bisa berupa gangguan pencernaan, batuk memburuk setelah makan, dan gumoh.
9. Rhinitis alergi atau non-alergi: Gejala berupa batuk kronis, pilek, hidung tersumbat, atau mata gatal dan berair.
10. Habit cough (batuk kebiasaan): Terjadi pada pasien berusia di atas 8 tahun dan tidak disertai gejala lain. Batuk tidak muncul saat tidur atau teralihkan, dan tidak membaik dengan obat asma.
11. Disfungsi pita suara: Gejala berupa kesulitan menarik napas, sensasi tersedak, dan sesak dada, yang mirip serangan asma. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan laringoskopi fleksibel.
12. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD): Pada orang dewasa, asma dan COPD bisa sulit dibedakan karena gejalanya mirip. Namun, pasien COPD biasanya memiliki riwayat merokok dalam jangka panjang.
13. Asma-COPD Overlap Syndrome: Kondisi dimana pasien memiliki ciri-ciri asma dan COPD.
14. Sarkoidosis dan hipersensitivitas pneumonitis: Dapat menyebabkan gangguan saluran napas namun biasanya tidak merespon obat pelega bronkus.4.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang tidak selalu diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma. Biiasanya akan dilihat gejala dan riwayat kesehatan pasien terlebih dahulu. Namun, beberapa pemeriksaan berikut dapat membantu untuk memastikan diagnosis atau menilai keparahan asma.5.
1. Spirometer: Alat ini mengukur volume udara yang dapat dikeluarkan paksa dalam 1 detik (FEV1) dan kapasitas vital paksa (FVC).
• Hasil abnormal: Penurunan rasio FEV1 terhadap FVC pada spirometri menunjukkan pola obstruktif yang umum terjadi pada asma.
• Bronkodilator reversibilitas (BDR): Pemberian obat pelega bronkus (bronkodilator) setelah spirometri pertama, dilanjutkan spirometri kedua untuk melihat perubahan nilai FEV1 atau FVC. Peningkatan yang signifikan (>10%) menunjukkan BDR positif, memperkuat diagnosis asma.
2. Bronchoprovocation Testing: Tes ini dilakukan dengan cara menghirup methacholine atau mannitol, berolahraga, atau bernapas cepat dengan udara kering. Penurunan FEV1 sebesar 20% atau lebih dari baseline menandakan hasil tes positif.
3. Peak flow meter: Alat ini mengukur kecepatan aliran udara puncak saat menghembuskan napas kuat-kuat.
• Penggunaan: Umumnya digunakan untuk pemantauan asma pada pasien yang sudah terdiagnosis, bukan untuk diagnosis awal.
• Interpretasi hasil: Penurunan nilai peak flow sebesar 20% selama munculnya gejala, diikuti perbaikan saat gejala membaik, dapat mengindikasikan asma.
3. Exhaled Nitric Oxide (NO): Peningkatan kadar NO pada hembusan napas dapat terjadi pada penderita asma akibat peradangan saluran napas yang melibatkan eosinofil.
Nilai FENO > 40-50 ppb: Dapat membantu menegakkan diagnosis asma. |
4. Pulse oximetry: Alat ini mengukur kadar oksigen dalam darah. Berguna untuk memantau tingkat keparahan serangan asma dan tanda-tanda penurunan kondisi pasien.
5. Pemeriksaan laboratorium: Tidak ada tes darah khusus untuk asma. Namun, beberapa pemeriksaan mungkin dilakukan pada kondisi tertentu:
• Hitungan darah lengkap: Untuk evaluasi jumlah eosinofil dan anemia pada pasien dengan serangan asma berat.
• Serum α1-antitrypsin: Untuk menyingkirkan kemungkinan emfisema akibat defisiensi α1-antitrypsin pada pasien non-perokok dengan obstruksi aliran udara ireversibel.
• Tes alergi: Dapat bermanfaat untuk mengidentifikasi alergen spesifik yang memicu gejala asma.
• Imunoglobulin E (IgE) total serum: Umumnya dilakukan pada pasien asma persisten sedang hingga berat.
7. Pencitraan:
• Rontgen dada: Biasanya normal pada penderita asma. Namun, pada serangan akut mungkin terlihat hiperinflasi (paru-paru terlalu mengembang), pneumomediastinum (udara di rongga mediastinum), dan penebalan bronkus.
• CT scan dada: Dilakukan untuk melihat kelainan yang tidak terdeteksi pada rontgen dada atau untuk mendiagnosis penyakit lain yang menyerupai asma.
Komplikasi
Komplikasi yang berhubungan dengan asma meliputi komplikasi yang berhubungan dengan penyakit dan efek samping glukokortikoid, LTRA, dan intubasi endotrakeal. Daftar berikut berisi komplikasi yang berhubungan dengan asma:5.
• Penurunan fungsi paru-paru • Penyakit keropos tulang • Patah • Infeksi • Penekanan adrenal • Hipertensi • Diabetes • Katarak | • Gangguan tidur • Apnea tidur obstruktif • Gangguan suasana hati • Gagal jantung • Glaukoma • Gagal napas atau henti napas • Pneumotoraks • Aspirasi • Bisul perut |
Tatalaksana
Penatalaksanaan asma pada orang dewasa dan remaja mengikuti pendekatan bertahap yang terbagi dalam 3 kelompok usia: 5 tahun atau kurang, 6-11 tahun, dan dewasa/remaja. Pendekatan ini bertujuan untuk mencapai kontrol gejala dan kontrol risiko terbaik. Pengobatan pada setiap langkah melibatkan obat utama (controller dan/atau reliever) yang direkomendasikan berdasarkan bukti ilmiah. Keputusan pengobatan juga mempertimbangkan karakteristik pasien, tujuan, dan kekhawatiran pasien, serta aspek praktikal seperti teknik inhalasi, kepatuhan, akses pengobatan, dan biaya.6.
Global Initiative for Asthma (GINA) tidak lagi merekomendasikan pengobatan asma hanya dengan SABA pada orang dewasa dan remaja. Obat controller mengandung ICS (Inhaled Corticosteroid) harus digunakan untuk mengurangi risiko eksaserbasi serius dan mengendalikan gejala. Controller ICS dapat diberikan rutin setiap hari atau dalam kombinasi ICS-formoterol yang digunakan bila perlu untuk meredakan gejala. Pengobatan asma orang dewasa dan remaja memiliki 2 jalur dengan 5 langkah berdasarkan keparahan gejala asma. Pengobatan dapat ditingkatkan atau diturunkan langkahnya dalam satu jalur, atau dialihkan ke jalur berbeda, sesuai kebutuhan setiap pasien.6.
Sebelum meningkatkan langkah, pastikan penyebab gejalanya adalah asma dan atasi masalah umum seperti teknik inhalasi, kepatuhan, dan paparan alergen. Langkah dapat ditingkatkan jika asma tetap tidak terkontrol meskipun kepatuhan dan teknik inhalasi sudah baik.6.
Sebelum meningkatkan langkah, pastikan penyebab gejalanya adalah asma dan atasi masalah umum seperti teknik inhalasi, kepatuhan, dan paparan alergen. Langkah dapat ditingkatkan jika asma tetap tidak terkontrol meskipun kepatuhan dan teknik inhalasi sudah baik.6.
Tabel 1. Jenis obat untuk tatalaksana.6.
Golongan | Contoh | Efek |
SABA (short-acting beta2 – agonist) | Salbutamol/Albuterol Terbutaline | Bronkodilator |
LABA (long-acting beta2 – agonist) | Formoterol Sameterol | Bronkodilator |
ICS (inhaled corticosteroid) | Budesonide Fluticasone | Anti-inflamasi |
OCS (oral corticosteroid) | Prednisolone | Anti-inflamasi |
LAMA (long-acting muscarinic antagonist) | Tiotropium Umeclidinium | Bronkodilator mengurangi sekresi mukus |
SAMA (short acting muscarinic antagonist) | Ipratropium | Bronkodilator mengurangi sekresi mukus |
LTRA (leukotriene receptor antagonist) | Montelukast Zafirlukast | Anti-inflamasi |
Methylxanthine | Theophylline | Anti-inflamasi & bronkodilator |
Tabel 2. Kategori obat asma.6.
Controller | Reliever | Add-on | |
Tujuan | Anti-inflamasi, mengurangi gejala & risiko eksaserbasi/ morbid/mortalitas | Digunakan pada saat terjadi serangan asma untuk meredakan gejala | Digunakan pada kasus asma berat atau untuk mmengendalikan faktor risiko lain |
Pilihan Obat | · ICS · ICS-formoterol (sesuai kebutuhan) saat serangan/ sebelum olahraga pada asma ringan · ICS-LABA · ICS-LTRA | · SABA · ICS-formoterol | · LAMA · Anti-lgE (omalizumab) · Anti-IL5 (mepolizumab) · dan lain lain |
Prognosis
Prognosis asma dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait, yaitu genetik, lingkungan, dan kondisi sosial ekonomi.5.
1. Faktor sosial ekonomi: Kualitas tempat tinggal yang buruk, polusi udara indoor dan outdoor, serta keterbatasan akses layanan kesehatan dapat memperburuk prognosis asma. Kelompok minoritas dan orang dengan ekonomi kurang mampu memiliki risiko komplikasi asma yang lebih tinggi, seperti rawat inap, kunjungan UGD, dan kematian.
2. Fungsi paru-paru: Secara umum, prognosis asma berkaitan dengan fungsi paru-paru. Individu dengan fungsi paru-paru di 25% terbawah memiliki risiko kematian 8 kali lebih tinggi.
3. Pengelolaan asma: Pengelolaan asma yang tidak adekuat dapat memperburuk prognosis.
4. Usia dan kebiasaan merokok: Pasien asma berusia 40 tahun ke atas dan memiliki riwayat merokok lebih dari 20 pack-years memiliki prognosis yang lebih buruk.
5. Eosinofilia darah: Kondisi dimana jumlah sel darah eosinofil di atas normal dapat menjadi indikator prognosis yang kurang baik.
6. Nilai FEV1: Nilai FEV1 (volume ekspirasi paksa detik pertama) yang berada di 40% hingga 69% dari nilai prediksi menandakan fungsi paru-paru yang terganggu dan bisa memperburuk prognosis asma.