Definisi
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak merupakan suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang akan menyebabkan pembesaran dari kelenjar prostat. Hiperplasia erat kaitannya dengan meningkatnya kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Proliferasi sel kelenjar prostat dipengaruhi oleh kadar estrogen yang terdapat pada prostat melalui peningkatan sensitivitas prostat terhadap rangsangan hormon androgen, peningkatan jumlah reseptor dan penurunan jumlah apoptosis sel prostat yang mengakibatkan terjadinya pembesaran pada volume prostat [1].
Epidemiologi
Menurut World Health Organization (WHO), pada tahun 2013 diperkirakan ada sekitar 70 kasus degeneratif termasuk di dalamnya yaitu BPH dengan insidensi di negara maju sebesar 19% dan di negara berkembang sebesar 5,35% kasus. Prevalensi kejadian BPH di Indonesia diperkirakan sebanyak 9,2 juta kasus dengan prevalensi provinsi tertinggi adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Bali, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Sedangkan prevalensi berdasarkan estimasi jumlah penderita kanker prostat terbanyak berada pada provinsi Jawa Timur dan provinsi Jawa Tengah. Insidensi BPH akan meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Terdapat sekitar 18-25% laki-laki berusia diatas 40 tahun, 70% pada pria usia 40 tahun dan >90% laki-laki berusia >80 tahun mengidap BPH [1].
Etiologi
BPH terjadi karena hilangnya homeostasis antara proliferasi sel prostat dan apoptosis atau kematian sel. Ketidakseimbangan ini mendukung proliferasi sel tanpa intervensi. Hasilnya adalah peningkatan jumlah sel epitel periuretra dan stroma prostat, yang dapat dilihat secara histopatologis. Etiologi BPH dipengaruhi oleh berbagai macam faktor risiko, selain efek hormonal langsung testosteron pada jaringan prostat. Pria yang dikebiri sebelum pubertas atau yang memiliki gangguan terkait androgen tidak mengalami BPH. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan dimodifikasi juga berkontribusi terhadap perkembangan BPH. Faktor risiko tersebut antara lain diabetes, pola makan, faktor genetik, peradangan lokal, obesitas, dan sindrom metabolik [2].
Diabetes dan penggunaan obat antidiabetik, terutama insulin, tampaknya meningkatkan risiko BPH, LUTS, dan operasi prostat [2].
Faktor makanan tampaknya mempengaruhi perkembangan BPH. Beta-karoten, karotenoid, dan vitamin A tampaknya agak protektif, sementara konsumsi alkohol berlebihan, asupan kafein dalam jumlah besar, dan suplemen vitamin C dosis tinggi cenderung meningkatkan risiko dan gejala BPH. Tidak ada suplemen makanan olahan yang terbukti membantu BPH dalam studi acak terkontrol yang dilakukan dengan benar [2].
Predisposisi genetik terhadap BPH telah dibuktikan dalam studi kohort. Kerabat tingkat pertama dalam 1 studi menunjukkan peningkatan risiko BPH sebanyak 4 kali lipat dibandingkan dengan kelompok kontrol. Temuan ini menunjukkan konsistensi dalam studi kembar yang melihat tingkat keparahan penyakit BPH, dengan tingkat LUTS yang lebih tinggi terlihat pada kembar monozigot [2].
Peradangan lokal sering dikaitkan dengan BPH, setidaknya secara histologis. Meskipun etiologi pastinya tidak jelas, kemungkinan penyebabnya meliputi peningkatan tekanan detrusor saat berkemih, obesitas, prostatitis tingkat rendah atau kronis, kompresi duktus prostat, dan gangguan autoimun [2].
Obesitas dikaitkan dengan peningkatan risiko BPH dalam studi observasional. Penyebab pastinya tidak jelas tetapi kemungkinan multifaktorial, karena obesitas merupakan salah satu aspek sindrom metabolik. Mekanisme yang diusulkan meliputi peningkatan tingkat peradangan sistemik dan kadar estrogen yang lebih tinggi [2].
Sindrom metabolik merujuk pada kondisi yang meliputi hipertensi, intoleransi glukosa/resistensi insulin, dan dislipidemia. Meta analisis telah menunjukkan bahwa mereka yang mengalami sindrom metabolik dan obesitas memiliki volume prostat yang jauh lebih tinggi. Penelitian lebih lanjut yang mengamati pria dengan kadar hemoglobin glikosilasi tinggi (HbA1c) telah menunjukkan peningkatan risiko LUTS [2].
Patofisiologi
Perkembangan LUTS dan obstruksi saluran keluar kandung kemih pada pria dengan BPH dapat disebabkan oleh komponen statis dan dinamis. Obstruksi statis merupakan konsekuensi langsung dari pembesaran prostat, yang mengakibatkan kompresi periuretra dan obstruksi saluran keluar kandung kemih. Pembesaran prostat mendistorsi saluran keluar kandung kemih, menyebabkan obstruksi urin, sementara kompresi periuretra memerlukan peningkatan tekanan buang air kecil untuk mengatasi resistensi aliran [2].
Lobus median prostat dapat membesar secara intravesikal, di mana tekanan detrusor yang meningkat akan cenderung menutup saluran keluar kandung kemih dan semakin membatasi buang air kecil. Jika lobus median membesar secara tidak merata, hal itu dapat menciptakan efek flap atau “katup bola”, menutup saluran keluar kandung kemih selama buang air kecil, yang mengakibatkan aliran yang sangat terbatas dan pengosongan kandung kemih yang tidak tuntas [2].
Komponen dinamis mencakup ketegangan otot polos prostat. Hal ini dijelaskan oleh penurunan elastisitas dan kolagen dalam uretra prostat pada pria dengan BPH, yang memperburuk gejala obstruksi saluran keluar kandung kemih karena hilangnya kepatuhan dan peningkatan resistensi aliran. Hal ini juga menjelaskan mengapa ukuran prostat saja tidak selalu menjadi prediktor penyakit yang dapat diandalkan. Meskipun BPH dapat meningkatkan kadar antigen spesifik prostat (PSA), hal ini bukan merupakan faktor risiko kanker prostat. BPH terjadi terutama di bagian tengah atau transisi prostat, sedangkan keganasan biasanya terbentuk di bagian perifer prostat [2].
Histopatologi
Pemeriksaan histologis mikroskopis menunjukkan bahwa BPH merupakan proses hiperplastik dengan peningkatan jumlah sel, termasuk proliferasi sel glandular dan stroma. Hiperplasia terjadi baik di zona periuretra maupun zona transisi. Secara khusus, zona periuretra menunjukkan nodul stroma hiperplastik, sedangkan proliferasi nodul glandular terlihat di dalam zona transisi [2].
Gambaran histologi hiperplasia prostat jinak tergantung bioavailabilitas testosteron dan metabolitnya dihidrotestosteron. walaupun terjadi penurunan testosteron dalam sirkulasi darah seiring penuaan produksi dan akumulasi dihidrotestosteron di prostat tetap terjadi. Akumulasi yang terjadi ini memacu pertumbuhan sel prostat ke arah hiperplasia. Kondisi ini diperkuat dengan bukti bahwa kelainan kongenital kekurangan enzim 5α-reduktase serta proses kastrasi pada pria menyebabkan atrofi glandular prostat sekaligus berkurangnya LUTS [2].
Tanda dan Gejala
BPH ditandai dengan proliferasi sel stroma dan epitel di zona transisi prostat, yang mengelilingi uretra. Hal ini menyebabkan kompresi uretra dan perkembangan obstruksi aliran keluar kandung kemih, yang dapat mengakibatkan manifestasi klinis LUTS, retensi urin, atau infeksi akibat pengosongan kandung kemih yang tidak tuntas. Penyakit jangka panjang yang tidak diobati dapat menyebabkan perkembangan retensi tekanan tinggi kronis (kondisi yang berpotensi mengancam jiwa) dan perubahan jangka panjang atau permanen pada otot detrusor kandung kemih [3].
Keluhan utamanya adalah retensi urin atau sulit untuk berkemih dan itu dirasakan sangat mengganggu kehidupan sehari-hari. Nyeri saat berkemih, urin berdarah, nyeri saat ejakulasi, cairan ejakulasi berdarah, gangguan ereksi, nyeri pinggul, dan pembesaran kelenjar prostat [3].
Komplikasi
Komplikasi yang biasa ditimbulkan oleh BPH adalah sistitis dan anemia. Pembesaran jaringan yang tinggi akan menyebabkan penekanan pada uretra pars prostatika yang menyebabkan penekanan pada lumen uretra dan mengakibatkan terjadinya obstruksi. Hal ini akan menyebabkan terjadinya retensi urin semakin tinggi menyebabkan disfungsi urotelium dengan Qmaks <10 mL/s yang apabila berlangsung lama menyebabkan terjadinya sistitis kronis yang ditandai dengan penebalan dinding kandung kemih dilihat dari hasil USG [1].
Penebalan pada kandung kemih diakibatkan oleh Bladder Outlet Obstruction (BOO) menyebabkan perubahan pada anatomi kandung kemih yang dikaitkan dengan perubahan struktur detrusor ditandai dengan hiperplasia epitel dan fibroelastik pada otot polos kandung kemih sehingga terjadi disfungsi berkemih. Faktor resiko terjadinya sistitis adalah penggunaan kateter, splint, stent, atau kateterisasi kandung kemih berkala, residual urin >100ml, obstruksi saluran kemih, dan kerusakan urotelium yang disebabkan kerena kimia maupun radiasi [1].
Pembesaran prostat jinak dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal seperti penyakit ginjal kronik yang merupakan salah satu komplikasi BPH. Tekanan intravesikal yang tinggi pada pasien BPH dapat menimbulkan aliran balik dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter. Jika keadaan ini terus berlanjut akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis bahkan sampai ke gagal ginjal [1].
Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk LUTS bersifat luas dan mencakup hal-hal berikut [2]:
Kandung kemih atonik atau dekompensasi
Penyempitan leher kandung kemih
Kanker kandung kemih atau prostat
Aktivitas kandung kemih yang berlebihan
Sindrom cauda equina atau kandung kemih neurogenik (dapat muncul dengan retensi akut)
Retensi kronis tekanan tinggi (presentasinya bisa bersifat mendadak atau dengan gagal ginjal akut)
Hidronefrosis
Kandung kemih neurogenik (bisa disebabkan oleh penyakit Parkinson, multiple sclerosis, diabetes, dll.)
Kanker penis
Fimosis
Kanker prostat
Penyakit Prostat
Gagal ginjal
Penyakit kelamin
Gangguan tulang belakang
Striktur uretra
Retensi urin
ISK
Batu saluran kemih (batu kandung kemih).
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien BPH yaitu: Pemeriksaan Urinalisis menentukan adanya leukosituria dan hematuria. Tes fungsional menilai adanya obstruksi subvesika yang disebabkan oleh BPH, yang dapat menyebabkan penyakit saluran kemih bagian atas. Angka kejadian gagal ginjal akibat BPH berkisar antara 0,3% sampai 30%, dengan rata-rata 13,6%. Tujuan pemeriksaan fisik dapat digunakan untuk menunjukkan apakah pencitraan saluran kemih bagian atas harus dilakukan. Tes PSA (Antigen Spesifik Prostat) disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat spesifik organ, tetapi tidak spesifik untuk kanker. Kadar PSA serum dapat meningkat oleh peradangan setelah biopsi prostat (biopsi prostat atau TURP), retensi urin akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan penuaan [4].
Alur penegakan diagnosis
Penegakan diagnosis BPH dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang [5].
1. Anamnesis
Anamnesis merupakan pemeriksaan awal yang sangat penting dan harus dilakukan secara cermat guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang diderita pasien. Anamnesis pada pasien BPH meliputi [5]:
a. Keluhan utama yang dirasakan pasien dan berapa lama keluhan tersebut telah mengganggu.
b. Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenital, seperti infeksi, kencing berdarah (hematuria), pernah mengalami cedera, kencing batu, atau pembedahan pada saluran kemih.
c. Riwayat konsumsi obat yang dapat menimbulkan keluhan berkemih.
d. Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual.
e. Menilai dan memantau keadaan pasien BPH dengan menggunakan sistem penskoran yang digunakan secara luas yaitu International Prostate Symptom Score (IPSS). IPSS telah dikembangkan oleh American Urological Association (AUA) dan distandarisasi oleh World Health Organization (WHO).
f. Melakukan pencatatan harian berkemih, dengan mencatat kapan dan berapa jumlah asupan cairan yang dikonsumsi serta kapan dan berapa jumlah urine yang dikemihkan. Pencatatan ini sangat berguna pada pasien yang mengeluh nokturia sebagai keluhan utamanya.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Status neurologis
Pemeriksaan fisik ginjal pada kasus BPH bertujuan untuk mengevaluasi adanya obstruksi atau tanda infeksi. Kemudian, pemeriksaan kandung kemih dilakukan untuk menilai isi kandung kemih dan ada tidaknya tanda infeksi. Pemeriksaan kandung kemih dilakukan dengan palpasi dan perkusi [5].
b. Colok dubur atau Digital Rectal Examination (DRE)
Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Examination (DRE) merupakan pemeriksaan fisik yang sangat penting pada pasien BPH. Pada pemeriksaan prostat aspek yang dinilai adalah bentuk, simetrisitas, kualitas, ada tidaknya nodul, dan konsistensi prostat. Dari pemeriksaan DRE bisa diidentifikasi apakah pasien mengalami BPH atau karsinoma prostat. Pada kondisi BPH akan didapatkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul [5].
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan ISK, prostatitis, sistolitiasis, nefrolitiasis, kanker ginjal, dan kanker prostat sebagai penyebab gejala LUTS pada pasien. Pemeriksaan ini dapat menentukan adanya leukosituria dan hematuria [5].
b. Prostate Specific Antigen (PSA)
Prostate Specific Antigen (PSA) merupakan antigen yang disintesis oleh sel epitel prostat. PSA bersifat spesifik organ tetapi tidak spesifik kanker. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai perjalanan penyakit BPH. Kadar PSA yang tinggi dapat mengindikasikan laju pertumbuhan volume prostat yang lebih cepat, keluhan akibat BPH lebih berat, dan lebih mudah terjadi retensi urine akut [5].
c. Pencitraan atau Radiologi
Pencitraan prostat merupakan pemeriksaan rutin yang bertujuan untuk menilai bentuk dan ukuran prostat. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan menggunakan Ultrasonography atau USG transabdominal [5].
d. Residu urin
Residu urine atau post voiding residual urine (PVR) merupakan ukuran seberapa banyak urin yang tersisa di kandung kemih setelah pasien berkemih. Jumlah rata-rata residu urine pada pria normal adalah 12 mL. Pengukuran residu urine dapat dilakukan dengan metode katerisasi dan USG atau bladder scan [5].
e. Uroflowmetry (Pancaran Urine)
Uroflowmetry merupakan pemeriksaan pancaran urine selama proses berkemih dengan tujuan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah. Dari pemeriksaan uroflowmetry bisa didapatkan beberapa informasi seperti lama proses miksi, laju pancaran, rerata pancaran, pancaran maksimum, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum, dan volume urine yang dikemihkan [5].
Tatalaksana
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah untuk memperbaiki keluhan berkemih, meningkatkan kualitas hidup, mengurangi obstruksi infravesika, mengurangi volume residu urine setelah miksi, mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, dan mencegah progresifitas penyakit. Tatalaksana pada pasien BPH terdiri dari terapi konservatif (watchful waiting), medikamentosa, dan pembedahan [5].
1. Terapi konservatif
Watchful waiting merupakan salah satu bentuk terapi konservatif pada pasien BPH yaitu pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya tetap diawasi oleh dokter. Terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan nilai IPSS kurang dari 8, yaitu gejala ringan dan tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien dengan terapi watchful waiting harus diberikan penjelasan tentang kondisinya dan diminta untuk menghindari hal yang dapat memperburuk keluhannya, misalnya jangan mengonsumsi kopi atau alkohol setelah makan, jangan menahan kencing terlalu lama, mengurangi asupan cairan sebelum tidur, dan menghindari beberapa obat seperti diuretik, dekongestan, antihistamin, serta antidepresan [5].
2. Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa bertujuan untuk mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan obat obatan penghambat adrenergik alfa (α1 blocker) dan mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara menurunkan kadar hormon testosteron atau dihidrotestosteron (DHT) melalui 5α-reduktase inhibitor [5].
3. Terapi pembedahan
Pembedahan merupakan pilihan terapi yang dapat memperbaiki klinis pasien BPH secara objektif, tetapi dapat disertai berbagai penyulit pada saat atau setelah tindakan. Terapi pembedahan dilakukan pada pasien BPH berdasarkan beberapa indikasi seperti retensi urin akut, infeksi saluran kemih berulang, hematuria makroskopis, gagal ginjal, divertikulum buli yang besar, batu buli, gagal Trial Without Catheter (TwoC), penurunan fungsi ginjal, serta perubahan patologis lain pada kandung kemih dan saluran kemih bagian atas [5].
Prognosis
Penurunan LUTS dengan gejala buang: air kecil yang semakin bermasalah merupakan indikator paling umum dari perkembangan penyakit BPH. Pasien juga dapat mengalami komplikasi, termasuk retensi urin, infeksi, atau hematuria. Studi observasional telah menunjukkan bahwa jika tidak ada pengobatan, perkembangan klinis BPH meningkat selama 48 bulan, dengan 31% dari kelompok tersebut memerlukan pengobatan lebih lanjut dan 5% mengalami retensi akut dalam periode yang sama. Risiko retensi urin akut meningkat seiring bertambahnya usia. Dalam sebuah penelitian di Olmsted County, Minnesota, insiden retensi pada pria meningkat lebih dari 10 kali lipat, dari 3 per 1000 (usia 40 hingga 49 tahun) menjadi 34,7 per 1000 (usia 70 hingga 79 tahun). Jika tidak diobati, BPH memiliki risiko progresi yang signifikan. Pria dengan prostat yang membesar secara signifikan (>30 gm) memiliki risiko progresi penyakit yang lebih tinggi. Dalam penelitian lain, hingga 42% pria yang mengalami retensi urin kemudian menjalani operasi. 5 penghambat alfa-reduktase telah terbukti mengurangi kejadian retensi urin dan menunda perlunya pembedahan, sedangkan alfa-blocker tidak [2].
Referensi
Anggoro A, Syamdini CF, Wati D, Sumantri IH, Pebyanti I, Ekayani M, et al. Studi Kasus Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). Jurnal Kedokteran Unram. 2022; 11(2): 875-882.
Michael NG, Stephen WL, Krishna MB. Benign Prostatic Hyperplasia. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. 2024.
Asri R, Afdhal F, Fatrida D. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Benigna Prostat Hiperplasia di Poli Klinik RSUD Bayung Lencir Tahun 2021. Indonesian Journal of Health and Medical. 2022; 2(1): 33-44.
Damayanti PS, Mazidu R. Laki-laki Usia 69 Tahun Dengan Keluhan Sulit BAK. Continuing Medical Education. 2022; 1(6): 732-745.
Novendi HS. Diagnosis dan Tatalaksana Benign Hyperplasia: Sebuah Studi Literatur. Jurnal Syntax Fusion. 2022; 2(2): 224-233.