Memahami Sindrom Nefrotik, Ancaman Serius bagi Kesehatan Ginjal

197
0

Definisi

Sindrom nefrotik (NS) adalah sindrom klinis yang ditandai dengan proteinuria masif (lebih dari 40 mg/m^2 per jam) yang menyebabkan hipoalbuminemia (kurang dari 30 g/L), hiperlipidemia, edema, dan berbagai komplikasi. Hal ini disebabkan oleh peningkatan permeabilitas melalui kerusakan membran basal di glomerulus ginjal. Penyakit ini disebabkan oleh kelainan permeabilitas glomerulus yang mungkin disebabkan oleh penyakit khusus ginjal atau sekunder akibat infeksi bawaan, diabetes, lupus eritematosus sistemik, neoplasia, atau penggunaan obat-obatan tertentu.1

Sindrom nefrotik (SN) merupakan kelainan ginjal terbanyak dijumpai pada anak, dengan angka kejadian 15 kali lebih banyak dibandingkan orang dewasa. Berdasarkan etiologi, SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit sistemik. Sebagian besar SN pada anak merupakan idiopatik2.

Epidemioolgi

Sindrom nefrotik merupakan penyakit kronis yang penting pada anak-anak. Perkiraan kejadian tahunan sindrom nefrotik pada anak sehat adalah dua sampai tujuh kasus baru per 100.000 anak kurang dari usia 18 tahun. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan pada usia yang lebih muda, namun setelah mencapai usia remaja, tidak ada perbedaan yang signifikan antar gender. Peningkatan insiden dan penyakit yang lebih parah terlihat pada populasi Afrika-Amerika dan Hispanik1.

SN merupakan kelainan ginjal terbanyak dijumpai pada anak, dengan angka kejadian 15 kali lebih banyak dibandingkan orang dewasa. Insidennya sekitar 2-3 kasus pertahun tiap 100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun. Terbanyak pada anak berumur antara 3-4 tahun dengan perbandingan anak lakilaki dan perempuan 2: 1. Laporan dari luar negri, menunjukkan dua per tiga kasus anak dengan SN dijumpai pada umur < 5 tahun. Pada sindroma nefrotik idiopatik paling lazim muncul antara usia 2 dan 6 tahun.2 Sebagian besar anak respon terhadap pengobatan steroid2.

Etiologi

Etiologic yang pasti belum dikethui, keberhasilan awal dalam mengendalikan nefrosis dengan obat-obat “imunosupresif” memberi kesan bahwa penyakitnya diperantarai oleh mekanisme imunologis, tetapi bukti adanya mekanisme jejas imunologis yang klasik belum ada. Umumnya, berdasarkan etiologinya, para ahli membagi SN menjadi tiga kelomok, yaitu: Sindrom nefrotik bawaan/kongenital, Sindrom nefrotik primer/idiopatik, dan Sindrom nefrotik sekunder, yang mengikuti penyakit sistemik, antara lain SLE. Kebanyakan (90%) anak menderita bentuk sindrom nefrotik idiopatik. Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, dibagi dalam 4 golongan yaitu:

  1. Sindroma Nefrotik Kelainan minimal (SNKM) / minimal change diseases (MCD). Ditemukan pada sekitar 80% kasus SN idiopatik. Lebih dari 90% anak dengan SNKM berespon dengan terapi kortikosteroid. Prognosis jangka panjang SNKM selama pengamatan 20 tahun, menunjukkan hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal2.
  2. Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS). Ditemukan pada 7-8% kasus SN idiopatik, hanya 20% pasien dengan GSFS yang berespon dengan terapi kortikosteroid, prognosis buruk. Pada GSFS 25% menjadi gagal ginjal terminal selama pengamatan 5 tahun dan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal2.
  3. Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP). Ditemukan 4-6% dari kasus SN, sekitar 50% pasien dengan lesi histologis ini berespon dengan terapi kortikosteroid, prognosis tidak baik2
  4. Lain-lain: proliferasi yang tidak khas2.

Manifestasi klinik

Edema merupakan gejala klinis yang menonjol, kadang-kadang mencapai 40% daripada berat badan dan didapatkan anasarka. Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten, biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan masif (anasarka). Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai sembab muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Bila lebih berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema genitalia2.

Kadang-kadang disertai oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang, muntah dan diare. Bila disertai sakit perut, hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya peritonitis atau hipovolemia. Peritonitis merupakan komplikasi penting yang kadang-kadang sulit didiagonis karena tanda-tanda peritonitis disamarkan oleh pemberian steroid2.

Dalam laporan ISKDC (International Study for Kidney Diseases in Children), pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) ditemukan 22% dengan hematuria mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara2.

Sindrom Nefrotik ditandai dengan Edema, Proteinuria masif (≥ 40 mg/m2 /jam), Hipoalbumnemia (< 2,50 g/dL) , dan Hiperkolestrolemia (≥ 200 mg/dL).1,2 Pasien dengan Sindrom Nefrotik paling sering datang dengan keluhan Edema walaupun beberapa Gejala Klinik lain juga sering ditemukan seperti: Hipertensi, Hematuria baik mikroskopis maupun Gross Hematuria, serta AKI (Acute Kidney Injury) yang ditandai dengan peningkatan dari kadar Ureum ataupun Creatinine Serum3.

Diagnosis

Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala: proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema, dan dapat disertai dengan hiperkolesterolemia1. Proteinuria masif adalah kadar proteinuria: > 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+. Sedangkan, hipoalbuminemia adalah kadar albumin dalam darah < 2,5 g/dl. Edema merupakan penimbunan cairan dalam jaringan, terlihat pada daerah yang mempunyai resistensi rendah, sperti kelopak mata, tibia, atau skrotum. Hiperkolesterolemia adalah kadar kolesterol dalam darah adalah >200 mg/dL. Kadar ureum dan kreatinin umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal. Bila terjadi hematuria mikroskopik (>20 eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (seperti: sclerosis glomerulus fokal)2.

Tatalaksana

  • Tatalaksana umum

Sebelum pengobatan steroid dimulai terhadap SN, maka perlu dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan berikut:

  1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan.
  2. Pengukuran tekanan darah.
  3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda/gejala penyakit sistemik, seperti lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein.
  4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
  5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis (OAT).

Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok2.

  • Pengaturan Dietetik

Pemberian diet tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema. Jika ada hipertensi dapat ditambahkan obat antihipertensi diawali dengan inhibitor ACE (angiotensin converting enzyme), ARB (angiotensin receptor blocker)2.

  • Diuretik

Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/ hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah. Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/ dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 24 jam. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang2.

Algoritma pemberian diuretik

  • Imunisasi

Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/kgbb/ hari atau total >20 mg/ hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine)1. Setelah penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan varisela2.

  • Tatalaksana Khusus: Pemberian Kortikosteroid

Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon.

  • Terapi Steroid Inisial

Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison 60 mg/ m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/ hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid2.

Pengobatan SN Relaps

Diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengandosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai diberikan2.

Pengobatan SN dengan Kontraindikasi Steroid

Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid, seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat, maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan)2.

Alur tatalaksana SN

  • Indikasi rujukan

Ada sebagian kasus SN yang bisa diobati dengan steroid dan memperlihatkan kesembuhan. Namun, ada juga yang tidak memperlihatkan remisi. Jika didapatkan tanda-tanda tidak ada perbaikan, maka perlu dirujuk ke ahli (konsultan nefrologi anak). Keadaan-keadaan ini yang merupakan indikasi untuk merujuk pasien SN kepada ahli nefrologi anak adalah sebagai berikut:

  1. Awitan sindrom nefrotik pada usia di bawah 1 tahun, riwayat penyakit sindrom nefrotik di dalam keluarga
  2. Sindrom nefrotik dengan hipertensi, hematuria nyata persisten, penurunan fungsi ginjal, atau disertai gejala ekstrarenal, seperti artritis, serositis, atau lesi di kulit
  3. Sindrom nefrotik dengan komplikasi edema refrakter, trombosis, infeksi berat, toksik steroid
  4. Sindrom nefrotik resisten steroid
  5. Sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid
  6. Diperlukan biopsi ginjal2.
  • Respon terhadap steroid
  • Remisi Proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) selama 3 hari berturutturut dalam 1 minggu
  • Relaps Proteinuria ≥2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu
  • Kambuh jarang, Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali per tahun pengamatan
  • Kambuh sering, Kambuh ≥2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal, atau ≥4 kali per tahun pengamatan
  • Sensitif steroid Remisi tercapai pada pemberian prednison dosis penuh selama 1 minggu
  • Dependen-steroid Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan
  • Resisten-steroid Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison dosis penuh 2 mg/ kgbb/hari selama 4 minggu2.

Pencegahan

Pasien harus dididik tentang cara menjalani diet rendah garam karena hal ini dapat membantu mengelola gejalanya. Tidak ada batasan aktivitas fisik untuk pasien dengan sindrom nefrotik, dan tetap aktif lebih disukai daripada istirahat di tempat tidur karena mengurangi risiko penggumpalan darah. Efek samping steroid, seperti melambatnya pertumbuhan, dapat dideteksi dengan memantau pasien setiap tiga bulan di klinik rawat jalan. Pasien harus diberi informasi bahwa kesehatan tulang itu penting, dan akibat steroid, kesehatan tulang mereka dapat terpengaruh; oleh karena itu, suplemen kalsium dan vitamin D mungkin bersifat protektif. Pasien harus menjalani pemeriksaan tahunan untuk mencari katarak. Di masyarakat, pasien sindrom nefrotik perlu dilakukan pemantauan dalam hal vaksinasi1.

1. Tapia, C., Bashir, K. Nefrotic Syndrome. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. 2024
2. Amalia, T. Q. Aspek Klinis, Diagnosis dan Tatalaksana Sindroma Nefrotik pada Anak. Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika. 2018; Vol 1(2): 81-88
3. Suwontopo, M. L., Umboh, A. A., Wilar, R. Analisis Hubungan Angka Kejadian, Gambaran Klinik Dan Laboratorium Anak Dengan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid Di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal Kedokteran Klinik. 2020; Vol. 4 (1): 6-14

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *